Ritual

Deadline studio tematik 2 baru berlalu hampir 12 jam yang lalu. Tapi aku nggak ngrasain bedanya sama progress studio biasa. Tolok ukur: hasil kerjaku.
Apa yang salah dengan sistem kerjaku? Kenapa waktu yang aku plot hampir selalu nggak bisa mengcover apa aja yang ingin aku kerjakan. Aku udah mengalokasikan waktu untuk mengerjakannya, lalu apa? Kerjaku kurang cepat? Oke, salahkan teknologi yang tidak mendukung.
*aku bukan sedang menyalahkanmu Pochi,, tapi, memang begitulah kenyataanya
Atau terlalu banyak hal lain yang kukerjakan sehingga waktuku untuk mengerjakan studio jadi kurang? Tapi hidupku nggak cuma untuk studio. Tapi apa temen2 yang lain juga nggak berbuat apa2 selain ngerjakan studio? Pasti nggak juga kan? LALU APA YANG SALAH DENGAN CARA KERJAKU? T-T
*no, i'm not crying
aku cuma penasaran. geregetan. gimana cara memperbaikinya. Kasih tahu aku, Pepsodent.

Mungkin masalah efisiensi waktu, atau ketahanan kerja, atau sesimpel kecintaan kerja.
Yeah, aku bohong besar kalau aku bilang aku cinta AutoCAD. Bohong agak besar kalau aku bilang aku cinta SketchUp. Aku akan bilang aku cinta sketsa. Tapi, kalau udah bicara tentang keunggulan teknologi dalam kecepatan dan kepraktisan menyajikan gambar kerja, aku pasti kalah. Mungkin aku bisa menang, dengan syarat2 tambahan yang harus kupunyai untuk menyaingi teknologi untuk menyajikan gambar secara representatif. Dan tanganku nggak kayak tangannya Jaka.

Maaf telah mbikin kamu terlibat dalam ritual renungan paska deadline studio ini (kubilang ritual karena selalu terjadi, baik kuinginkan atau nggak).

Terakhir kali aku puas dengan kerjaan studioku adalah waktu studio 1. Hanya. Itu. Poor me.

Ada masalah, aku yakin. Tapi aku belum bisa nemuin pemecahannya. Dan kesempatan studioku selama 4 tahun kuliah udah habis.

Tapi aku menemui bahwa kalau aku memang suka dan niat, bukan diniatkan suka dan diniatkan niat, hasilnya pasti bagus. Misal; olim biologi, paskib, bahkan hanya sekedar berhasil mbikin tas rajut

Dan muncul pertanyaan: kamu knp kok nggak fokus sm kuliah?

menurutmu? kalau aku tahu aku nggak akan nulis ini, friend.

Enough for it.
Pergi tidur.

Prahara

Malam sudah larut ketika aku memutuskan untuk menuliskannya saja alih-alih menyampaikannya. Hampir seluruh waktuku yang kulalui denganmu kuhabiskan dengan bertanya-tanya.
Apakah?
Apakah?
Apakah?
Tapi nyatanya tidak ada satu pun dari apakahku yang kamu dengar dan aku tidak yakin kamu bahkan bersedia meluangkan telingamu untuk mendengar.
Dulu ketika aku terganggu dengan pikiranku, aku merasa mempunyai alasan untuk merasa terganggu. Namun belakangan kuketahui bahwa alasannya tidak seperti yang kubayangkan, justru sebaliknya. Anggap saja aku memang suudzon karena sebenarnya kamu hanya malu.

Waktu bergulir dan aku ternyata lupa bahwa pernah mempunyai pikiran-pikiran negatif itu. Karena segala sesuatunya berjalan baik, aku bahkan berhasil menganggapmu sebagai salah seorang temanku. Kita bercanda, tertawa, menghabiskan sore bersama.. Semua sewajarnya hubungan pertemanan normal. Aku tidak menyadari sedikitpun ketika kamu menampakkan sorot mata itu lagi.

Asing. Jauh. Protektif. Defensif. Melarikan diri. Lepas. Lenyap.


Lalu apa arti semua yang pernah terjadi ketika itu? Apa arti tawa itu? Canda itu? Sikap nyaman itu? Sorot mata itu? Apa?
Apa?
APA?


Rasanya ingin marah. Rasanya ingin kulakukan apa yang selama ini kutahan. Rasanya ingin kuraih kamu dan menghadapiku. Rasanya ingin kutarik kerah bajumu sambil berkata,
"Lihat mataku!"
karena kamu pasti mengelak.
Rasanya ingin kupegangi kamu erat karena kamu pasti berbalik pergi. Rasanya ingin sekali saja aku mendapat jawaban darimu ketika aku bertanya,
"Apa salahku padamu?"


Tapi semua itu hanya angan
karena nyatanya aku tidak pernah bisa marah terhadapmu,
karena aku tidak cukup bodoh untuk melakukannya,
dan karena alasan utamaku untuk menahannya sangat jelas dan mengerikan.


Kamu bukanlah orang yang dapat dipercaya. Dan aku seorang pendendam.



Seandainya kamu membaca ini, apakah kamu merasa bahwa aku sedang membicarakanmu? Hah?
Aku tahu kamu sering membaca tulisanku.
Aku tahu beberapa hal tentangmu. Hal yang sangat kusyukuri karena aku diijinkan tahu. Sekaligus hal yang sangat kusesali karena menjadi jarum yang menyakitkan di hatiku setiap kali melihatmu bersamanya.


Kukira aku sudah akan berhenti menulis tapi kudapati jariku masih menuntutku bercerita.


Aku memang pernah berikrar sambil lalu tentangmu. Ikrar yang kuyakini ketika aku mengucapkannya dan tidak akan kutarik lagi. Itu benar. Yang tidak kusangka masih terus berlanjut adalah pandangan merendahkan darinya itu. Hei, aku temanmu bukan? Teman kalian bukan? Mengapa begitu sulit membuatku nyaman bersama kalian?


Aku ingin tahu. Aku ingin bisa tahu sehingga aku tidak perlu lagi bertanya-tanya. Aku tidak bisa tahu maka aku tidak keberatan kamu berbohong.


Kuharap dengan sungguh kamu sempat membaca tulisan ini.


Kuharap esok ketika aku bertemu denganmu lagi, aku melihat seorang teman. Temanku.