Prahara

Malam sudah larut ketika aku memutuskan untuk menuliskannya saja alih-alih menyampaikannya. Hampir seluruh waktuku yang kulalui denganmu kuhabiskan dengan bertanya-tanya.
Apakah?
Apakah?
Apakah?
Tapi nyatanya tidak ada satu pun dari apakahku yang kamu dengar dan aku tidak yakin kamu bahkan bersedia meluangkan telingamu untuk mendengar.
Dulu ketika aku terganggu dengan pikiranku, aku merasa mempunyai alasan untuk merasa terganggu. Namun belakangan kuketahui bahwa alasannya tidak seperti yang kubayangkan, justru sebaliknya. Anggap saja aku memang suudzon karena sebenarnya kamu hanya malu.

Waktu bergulir dan aku ternyata lupa bahwa pernah mempunyai pikiran-pikiran negatif itu. Karena segala sesuatunya berjalan baik, aku bahkan berhasil menganggapmu sebagai salah seorang temanku. Kita bercanda, tertawa, menghabiskan sore bersama.. Semua sewajarnya hubungan pertemanan normal. Aku tidak menyadari sedikitpun ketika kamu menampakkan sorot mata itu lagi.

Asing. Jauh. Protektif. Defensif. Melarikan diri. Lepas. Lenyap.


Lalu apa arti semua yang pernah terjadi ketika itu? Apa arti tawa itu? Canda itu? Sikap nyaman itu? Sorot mata itu? Apa?
Apa?
APA?


Rasanya ingin marah. Rasanya ingin kulakukan apa yang selama ini kutahan. Rasanya ingin kuraih kamu dan menghadapiku. Rasanya ingin kutarik kerah bajumu sambil berkata,
"Lihat mataku!"
karena kamu pasti mengelak.
Rasanya ingin kupegangi kamu erat karena kamu pasti berbalik pergi. Rasanya ingin sekali saja aku mendapat jawaban darimu ketika aku bertanya,
"Apa salahku padamu?"


Tapi semua itu hanya angan
karena nyatanya aku tidak pernah bisa marah terhadapmu,
karena aku tidak cukup bodoh untuk melakukannya,
dan karena alasan utamaku untuk menahannya sangat jelas dan mengerikan.


Kamu bukanlah orang yang dapat dipercaya. Dan aku seorang pendendam.



Seandainya kamu membaca ini, apakah kamu merasa bahwa aku sedang membicarakanmu? Hah?
Aku tahu kamu sering membaca tulisanku.
Aku tahu beberapa hal tentangmu. Hal yang sangat kusyukuri karena aku diijinkan tahu. Sekaligus hal yang sangat kusesali karena menjadi jarum yang menyakitkan di hatiku setiap kali melihatmu bersamanya.


Kukira aku sudah akan berhenti menulis tapi kudapati jariku masih menuntutku bercerita.


Aku memang pernah berikrar sambil lalu tentangmu. Ikrar yang kuyakini ketika aku mengucapkannya dan tidak akan kutarik lagi. Itu benar. Yang tidak kusangka masih terus berlanjut adalah pandangan merendahkan darinya itu. Hei, aku temanmu bukan? Teman kalian bukan? Mengapa begitu sulit membuatku nyaman bersama kalian?


Aku ingin tahu. Aku ingin bisa tahu sehingga aku tidak perlu lagi bertanya-tanya. Aku tidak bisa tahu maka aku tidak keberatan kamu berbohong.


Kuharap dengan sungguh kamu sempat membaca tulisan ini.


Kuharap esok ketika aku bertemu denganmu lagi, aku melihat seorang teman. Temanku.

0 komentar:

Posting Komentar